Sebuah Patah


Aku kecewa bahkan terluka. Apa yang dia lakukan padaku tidak terpikirkan sebelumnya. Kami sudah lima tahun menjalin hubungan dan tidak ada hal serius yang membuat hubungan kami retak bahkan hancur. Kini hubungan itu tinggal puing dan kenangan yang bila diingat air mataku jatuh membasahi pipi. Tepat tanggal 21 November, aku merayakan anniversary yang ke 5 dengannya. Kami pergi ke sebuah taman yang dipenuhi bunga Dandelion dengan membawa dua kantong makanan dan minuman berserta tikar. Tak lupa kamera dan buku catatan kecil untuk mengabadikan setiap momen yang kami lewati. Masih terlintas jelas dalam benakku ketika aku sedang sibuk memotret Dandelion, dia memanggilku dengan lambaian tangannya. “Sini, Ada yang mau aku ungkapkan”, ucapnya singkat dengan senyum kecil. “Hmm ngomong aja”, gumamku dengan pandangan sibuk melihat-lihat foto yang baru saja ku potret.

Hening, tak ada suara. “Bukannya dia mau ngomong ya?”, pikirku dalam benak. Saat kepalaku terangkat, dia tepat ada di hadapanku dan menatapku dalam dengan senyum manisnya. Sudah dua kali aku melihat senyumnya yang sangat manis, pertama,  ketika aku menerima cintanya dan kedua saat sekarang ini. Wajahku memerah karena tatapannya, secara spontan aku langsung mundur dua langkah dari tempat dudukku yang semula. “Ih apaan sih kamu ini? liatin aku kayak gitu banget”, ucapku dengan wajah kesel. Dia hanya tersenyum melihat tingkahku yang seperti anak kecil, kemudian tangannya merogoh saku jaketnya.

“Itu apa?”, tanyaku penasaran sambil mendekatinya. Dia menyembunyikan benda tersebut di belakang badannya dan berusaha membuat jarak denganku sekitar tiga langkah. “Kamu tutup mata dulu”, pintanya. Bukannya menutup mata, aku berusaha untuk mendekatinya karena rasa penasaranku yang mulai muncul.

“Riri tutup matanya dulu, nanti aku kasih tau”, rayunya dengan senyuman sambil menjauhiku. “Iya iya bawel, untung gak jadi ikan bawal lu”, ucapku sinis dan mataku perlahan tertutup. Pikiranku bertanya-bertanya “ngapain sih dia nyuruh aku tutup mata segala, ribet ih. Jangan-jangan dia mau jailin aku kayak waktu itu”. Saat mataku hendak terbuka, tangannya mencoba menutupnya. “Sebentar ko, jangan dulu buka matanya”.

Beberapa menit kemudian. “Udah, sekarang buka matanya.” Ketika mataku terbuka, dia sedang tersenyum menatapku dengan kamera di genggamannya. Aku masih belum mengerti apa yang dia lakukan ketika aku menutup mata. Seingatku dia berada di belakangku dan menutup mataku dengan tangannya, setelahnya aku tidak tahu. Aku masih belum merasa ada yang berbeda di tubuhku masih seperti biasa. Hingga tanganku menyentuh sebuah bandul. Aku terkejut melihatnya, sebuah kalung dengan bandul bulat seperti lampu di dalamnya terdapat dua pappus bunga dandelion. Aku menyentuhnya, tiba-tiba air mataku jatuh. “Makasih Rio, kamu udah nepatin janji kamu buat beliin aku kalung ini. Aku seneng banget dan ga tau harus balesnya gimana”, ucapku dengan senyuman, namun air mata haru masih tetap jatuh membasahi pipiku.

“Loh ko nangis sih, jelek loh”, ejek dia. Aku pun cepat-cepat menghapus air mata tersebut dikarenakan malu dilihatnya. Kami saling melempar senyum satu sama lain dan tertawa.

“Riri?”

“Iya”

“Aku sangat mencintaimu. Kalung ini bukti betapa cintaku tulus kepadamu. Terima kasih telah hadir dalam hidupku, membawa perubahan dan warna dalam hidupku.”

“Biasa aja”, ucapku tersenyum dengan nada mengejek. Aku malu kalau dia sudah memujiku berlebihan. Dari semenjak dulu sampai sekarang, dia selalu baik kepadaku, tidak pernah terlintas dalam benaknya untuk menyakitiku. Bahkan aku yang sering mencari masalah, namun dia selalu sabar menghadapiku, apapun yang aku lakukan dia selalu tersenyum dan menegurku dengan lembut.
Sekarang aku harus percaya atas apa yang menimpaku. Bagaimana bisa aku percaya kenyataan yang aku alami sekarang ini, kalau dia mematahkan hatiku sangat patah. Berkali-kali tanganku mencubit pipiku dan menganggap bahwa keadaan yang sedang aku alami adalah sebuah mimpi. Tidak, ini bukan mimpi, ini kenyataan yang harus aku terima. Tak ku sangka hubunganku dengannya berakhir pada titik ini. Titik dimana aku sangat menyayanginya, titik dimana aku percaya bahwa dia adalah pilihan terakhirku.

“Riri, aku mengungkapkan perasaan ini kepadamu karena dari sejak awal aku sudah memilihmu untuk menjadi pilihan terakhirku”, ucapannya lima tahun yang lalu ketika dia mengungkapkan perasaannya kepadaku.


Kini semunya sudah hilang dan hanya bisa terkenang. Aku percaya ketika aku dipatahkan dengan sangat patah, Tuhan akan menyembuhkanya dengan sangat sembuh. Meski butuh waktu dan perjuangan yang cukup panjang, tapi Tuhan akan selalu berusaha untuk menciptakan tenang. Patah ini tak kan membuatku jatuh lebih dalam, patah ini akan membuatku lebih mengerti arti sebuah cinta yang mendalam. Aku akan bahagia dengan retakannya, sebagaiman aku memulainya dengan perantara-Nya.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perempuan; Sebuah Permulaan

[1] Gelap?

[2] Bahagia?