Gugur yang sendu
Daun berguguran bersamaan dengan gugurnya
kebersamaan yang telah kita pupuk bersama selama 1 tahun ini. Aku masih belum
bisa menerima semua yang sebenarrnya terjadi dalam hidupku. Tanpa sepatah kata,
kau tega meninggalkan, hanya sepucuk surat dan sehelai batang daun kering di
atas kursi yang menjadi saksi kepergianmu pada 2 bulan yang lalu. Aku tak
percaya kamu melakukannya. Tega.
Tepat pukul 00.10, aku terbangun sesaat sebuah
nada dering telpon terus saja berdering tanpa henti. Masih dengan mata tertutup,
tanganku dengan lemas mengambil handphone yang tergeletak di atas meja sebelah
kasur. Tangan kiriku masih mengucek mata yang sedikit masih menempel. Mataku
terbelalak sesaat melihat sebuah panggilan dengan sebuah nama yang tak asing.
Perlahan tanganku bergetar dan mulai melempar handphone ke lantai dengan
kerasnya tanpa menghiraukan apa yang akan terjadi dengan handphone. Dadaku
mulai sesak dengan pikiran yang tak karuan. Mataku panas dan cairan itu pun
akhirnya jatuh. Air mata jatuh perlahan membasahi pipiku. Diriku mengerang
menahan sakit yang sangat dalam, tanganku pun berusaha memukul-mukul dadaku
dengan sekencang-kencangnya karena amarah dan rasa sesak yang tak bisa ku
pendam lagi.
“A..a.a..a.a”: teriakku kencang, membangunkan sahabatku,
Rina yang tertidur pada saat mengerjakan tugas di depan laptop.
Rina terbangun kaget, dengan mata maenyipit ia
menoleh ke arah suara teriakan berasal, “Rara,” ucapnya tak percaya. “Ya
Tuhan, Ra kamu kenapa?”: Tanya Rina menghampiriku dengan keadaan sangat
terkejut dan langsung memelukku untuk menenangkan.
Aku tak bisa mengucapkan sepatah kata pun.
Mulutku seolah terkunci, hanya erangan dan tangan yang terus memukul dada tanpa
henti yang dapat ku lakukan. Rina pun memegang tanganku dan mulai menatapku
penuh rasa iba.
“Ra, kamu kenapa?”
Aku tetap belum bisa mengungkapkan apa-apa, dikarenakan
sesak sudah memenuhi dadaku. Rina pun memelukku dengan kasih sayang dan mencoba
untuk menenangkanku kembali.
“Ayo minum dulu, Ra, biar kamu tenang”: Pinta Rina dengan menyodorkan segelas air
putih ke hadapanku. Tanganku meraihnya dengan sangat lemas dan bergetar, aku
pun mulai meminumnya. Perlahan aku mulai tenang.
“Kamu mau cerita sekarang? Atau mau lanjut
dulu tidur?.”
Aku tak memedulikan pertanyaan yang
dilontarkan Rina. Pandanganku hanya lurus kepada kepingan handphone di atas
lantai yang berserakan. Rina pun berjalan menuju kepingan tersebut dan mulai
mengembalikan semuanya kepada posisi semulanya. Dan menekan tombol on handphone
tersebut. Case layar handphone sedikit
retak akibat lemparan yang begitu kuat. Ada sebuah notifikasi panggilan tidak
terjawab hingga 10 kali dan ketika ia klik notif tersebut, matanya melotot
seolah tak percaya. Ia mengerti apa yang menyebabkan Rara menangis seperti itu
ternyata karena hal ini.
“Sudahlah Ra”: Ucap singkat Rina ketika ia telah selesai
membereskan kepingan handphone dan meletakkan handphone tersebut di sampingnya.
“Sekarang sudah waktunya Ra, untuk meminta
penjelasan kepada Dion.”: Lanjutnya dengan menepuk bahuku.
Aku menatap Rina, “tapi, Na”: Lirihku
dengan air mata yang kembali menetes membasahi pipiku.
“Bukankah ini yang kamu inginkan Ra? Tenangkan
dirimu sejenak Ra, ini semua demi kebaikan kalian. Agar semuanya terlihat
jelas.”
Aku pun mencoba untuk mengatur emosiku agar
tak meledak seperti beberapa menit yang lalu dan mulai tersenyum kepada Rina.
Selang beberapa menit, sebuah notifikasi pun
masuk.
“Maaf Ra, besok aku tunggu di Kyoto. Aku mau
jelasin semuanya.”
Aku hanya terdiam ketika pesan itu perlahan ku
pahami. Rina melirik kepadaku dengan harap agar aku bisa menemuinya besok.
Menemui orang yang telah membunuhku secara perlahan dengan ketidakpastiannya.
Meskipun ia pergi dalam waktu yang terbilang singkat, namun tetap saja aku tak
bisa menerimanya jika tak ada sebuah alasan yang jelas.
“Ra, aku mohon semoga kamu mau bertemu
dengannya besok, agar semuanyaj jelas.”
“Iya demi kamu, aku pergi nemuin dia”
“Bukan demi aku Ra, tapi demi kebaikan kalian”
Aku pun mengangguk membenarkan apa yang
diucapkan Rina. Aku harus menemuainya utnuk meminta penjelasan atas apa yang
dia lakukan padaku 2 bulan yang lalu. Tepat di hari dimana kepergianku menuju
Jepang untuk melanjutkan studiku. Aku sudah menunggunya hampir 1 jam dan
panggilan untuk para penumpang pesawat pun sudah dari tadi memanggil. Aku tetap
menunggu kedatangannya untuk terakhir kali bertemu dengannya. Namun ia tak
kunjung datang. Aku pun mulai berjalan meninggalkan ruagan tersebut, tanpa
sengaja mataku menangkap sebuah surat dilengkapi dengan sehelai daun kering yang
menempel di surat tersebut. Entah kenapa, tanganku dengan sigap mengambilnya
dan langsung membaca halaman depan amplop surat tersebut. “Teruntuk engkau
yang ku sebut gugur”.
****
Keesokan harinya...
Suasana Kyoto sudah ramai dengan orang yang
berlalu lalang. Setiap orang berusaha untuk mengabadikan perjalanan mereka
dengan berfoto di sekitaran pohon-pohon dengan dedaunan yang mula mengering dan
mulai gugur. Musim gugur di Kyoto adalah salah satu musim gugur terindah. Maka
tidak heran banyak turis yang berkunjung untuk melepas penat dengan keindahan
yang disajikannya. Aku belum menemukan sosoknya semenjak aku melihat sekeliling
tempat tersebut. Kaki pun mulai kembali berjalan perlahan menyusuri tempat
tersebut dan tiba-tiba ada seorang lelaki yang berjalan ke belakang tanpa
melihatku.
“A..a.a.a”: Teriakku saat aku tak mampu menahan keseimbangan
tubuhku.
Sebuah tangan menahanku agar tak terjatuh.
“Makasih”: ucapku ketika pandanganku lebih memperhatikan kibasan
tangan yang menempel merapikan baju.
“Iya Ra.”
“Deg.” Aku pun terdiam dan mulai menggerakkan kepala untuk memandang seorang
lelaki yang berada tepat di hadapanku.
Seketika badanku berbalik arah dan langkah
kaki ku mulai berjalan meninggalkannya. Ia pun memberhentikanku.
“Ra tunggu dulu, ada yang ingin aku jelaskan
terlebih dahulu sebelum kamu pergi”: cegahnya dengan berteriak.
Aku pun terdiam di posisiku.
“Ra, aku telah mengukir sebuah luka di
lembaran kita. Sebuah lembaran yang selalu kita jaga dengan cinta dan kasih
sayang. Lembaran yang selalu meyakinkan kita untuk tak rapuh bahkan terjatuh.
Namun bukan orang lain yang membuat lubang hitam itu, ya aku yang membuatnya.
Aku manusia bodoh yang telah melanggar janjiku untuk tak melukaimu sedikit pun.
Kini aku melukaimu. Bahkan bukan sedikit tapi ini lebih dari banyak. Jujur Ra,
tidak ada alasan bagiku untuk meninggalkanmu tapi waktu yang mengharuskannya.
Aku tak menginginkkanya, tapi aku yakin ini yang terbaik untuk kita. Percayalah
Ra, jika gugur itu telah mencapai puncaknya ia akan menemui semi untuk sebuah
kebahagiaan. Begitu pun kita Ra, kita akan bertemu kembali di sebuah waktu
terindah yang tak pernah kita tahu namun selalu aku yakini akan
kehadirannya nanti. Maafkan aku Ra.”
“Terima kasih untuk sebuh luka yang membuatku
lebih mengerti sebuah cinta yon. Rasaku kini telah gugur bersamaan dengan
daun-daun yang luluh lantak di tanah kering itu.”: ucapku seraya pergi meninggalkannya.
Aku tidak tahu, apakah nanti aku akan bertemu
dengannya kembali, membuka lembaran baru, menyembuhkan patah, mengukir bahagia.
Namun, saat ini, rasa itu sudah gugur, hilang bahkan aku sedang tak ingin
mengingat dan membukanya kembali. Bila akhirnya ia memang gugur yang berujung semi,
aku harap semi datang di waktu yang tepat. Terimakasih gugur.
Hem.. Kayak kenal ya
BalasHapus