Postingan

Menampilkan postingan dari 2023

Perempuan; Sebuah Permulaan

Perempuan, makhluk Tuhan yang sebagian besar hidupnya seperti kambing hitam. Semenjak lahir ke dunia, perempuan sudah dituntut untuk memaklumi keberadaannya sebagai perempuan. Segala hal yang melekat dalam dirinya, dapat dengan bebas dikomentari oleh orang selainnya. Warna kulitnya, karakternya, apa yang dikenakannya dan hal lainnya selalu menjadi sasaran empuk orang lain. Perempuan harus hidup dengan tuntutan masyarakatnya, karena kalau tidak; ia akan dianggap berbeda. Perempuan kecil dalam sebuah keluarga dituntut oleh orang tua harus bisa mengerjakan pekerjaan domestik; menyapu, mengepel dan lain sebagainya. Budaya patriarki yang tidak pernah hilang membuat perempuan hampir kehilangan masa kecilnya ketika tumbuh menjadi anak pertama dalam sebuah keluarga. Ia memiliki tanggung jawab yang sama seperti ibu, atau bisa jadi menggantikan tanggung jawab sang ibu. Terkadang, perempuan iri dan muak dengan hidupnya, sebab hidup laki-laki selalu serba mudah dan tanpa tuntutan yang parah. Tetap

[2] Bahagia?

Gambar
"Bahagia itu tanggung jawab siapa?" tanyaku kepadamu. " Menurutmu?" "Ih ko balik nanya sih? aku kan mau tahu pendapatmu"  "Bahagia itu tanggung jawab kamu," "Hah? ko aku?" "Ya jelas kamu" "Kenapa bisa aku?" "Terus kalau bukan kamu siapa?" Aku sedang mencerna semua yang dikatakanmu. "Karena kamu yang bertanya, tentu kamu-lah jawabannya" Aku semakin tidak mengerti dengan ucapanmu. Kamu suka sekali membuat orang lain berpikir keras. Kebiasaan. "Manusia sering kali merasa bahwa bahagia bukan tanggung jawab pribadi. Mereka suka sekali menggantungkan bahagia kepada orang selain dirinya. Entah kenapa harus seperti itu?" "Manusia merasa bahwa orang selain dirinya dapat membuatnya lebih bahagia" "Omong kosong, tidak ada orang yang bahagia karena orang lain jika dia belum bisa membahagiakan dirinya sendiri" "Buktinya banyak yang senang dan tertawa" "Senang dan t

[1] Gelap?

Gambar
Terang, tak lagi benar-benar mewakili hilangnya kegelapan. Dalam ruang yang syak dari cahaya, terang justru hadir dalam situasi kedap semacam itu. Tegasnya, suatu gemerlap justru hadir kala langit berselimut gelapnya udara malam.  Dalam renungan itulah, Bintang termenung. Ditemani hujan yang mendebur atap-atap langit yang tampak agak rembes dimakan kuyup.  Dirinya, tengah mencari arti dari gelap yang sedang melingkupi hidup pahitnya, memaksa dirinya betah dengan teror dari sesat langkah di masa mendatang. Menjauhkannya dari dunia, ke luar dunia yang tak ber-ruang fisik adanya.  Dalam pikir panjangnya, dia bersahut "Andai gelap adalah kebenaran, maka aku akan menjadi pembela yang paling utama. Jikalau gelap adalah ajaran dari Tuhan, maka aku akan bersedia menjadi hambanya" .  Namun, apakah itu mungkin? Kala primodialitas manusia justru berbicara menyoal gelap sejak dahulu. Gelap kerap menjadi lawan determinan dari cahaya yang tak lain telah mewarisi simbol dari kebenaran dan k