Perempuan; Sebuah Permulaan

Perempuan, makhluk Tuhan yang sebagian besar hidupnya seperti kambing hitam. Semenjak lahir ke dunia, perempuan sudah dituntut untuk memaklumi keberadaannya sebagai perempuan. Segala hal yang melekat dalam dirinya, dapat dengan bebas dikomentari oleh orang selainnya. Warna kulitnya, karakternya, apa yang dikenakannya dan hal lainnya selalu menjadi sasaran empuk orang lain. Perempuan harus hidup dengan tuntutan masyarakatnya, karena kalau tidak; ia akan dianggap berbeda. Perempuan kecil dalam sebuah keluarga dituntut oleh orang tua harus bisa mengerjakan pekerjaan domestik; menyapu, mengepel dan lain sebagainya. Budaya patriarki yang tidak pernah hilang membuat perempuan hampir kehilangan masa kecilnya ketika tumbuh menjadi anak pertama dalam sebuah keluarga. Ia memiliki tanggung jawab yang sama seperti ibu, atau bisa jadi menggantikan tanggung jawab sang ibu. Terkadang, perempuan iri dan muak dengan hidupnya, sebab hidup laki-laki selalu serba mudah dan tanpa tuntutan yang parah. Tetapi menjadi perempuan, ia harus selalu siap memenuhi ekspektasi orang lain. Sekali lagi kalau tidak; ia akan dianggap berbeda. 

Perempuan kecil yang tumbuh dalam sebuah keluarga patriarki sering kali tidak mendapatkan haknya sebagai anak kecil yang bebas bermain seperti anak laki-laki. Perempuan dapat melihat dengan jelas letak perbedaan dirinya dengan anak laki-laki. Ia melihat bahwa anak laki-laki tidak pernah dituntut untuk melakukan pekerjaan domestik, karena katanya pekerjaan domestik hanya dilakukan oleh perempuan. Padahal dalam sebuah keluarga pekerjaan domestik seharusnya dilakukan secara bersama oleh anggota keluarga. Selain itu juga, para orang tua tidak pernah menuntut anak laki-lakinya untuk mengikuti keinginan mereka, berbeda halnya dengan perempuan yang dituntut harus nurut dan manut. 

Sesak rasanya melihat perempuan kecil harus tumbuh dalam budaya patriarki di sebuah keluarga. Bahkan menginjak remaja-dewasa, budaya patriarki tersebut semakin menjadi-jadi. Perempuan harus cantik dan menarik perhatian orang lain. Kalau tidak, akan ada bualan yang keluar dari mulut mereka dengan argumentasinya yang sok benar. 

Tidak mudah menjadi perempuan. Ada banyak hal yang harus ia dobrak demi masa depan yang lebih baik untuk dirinya dan orang-orang setelahnya. Karena kalau tidak, mereka (para oknum) akan nyaman dengan keberadaannya menginferiorkan perempuan. Tentunya secara kemanusiaan itu tidak adil bukan?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[1] Gelap?

[2] Bahagia?