[4] Kagum

 


Namanya Bagas Pratama. Nama yang pertama kali berhasil mendebarkan hatiku setiap kali ada yang menyebutnya. Nama milik seseorang yang memiliki senyuman terhangat sekampus. Aku mengaguminya sejak pertama kali ia muncul di hadapanku sekitar dua tahun yang lalu sebagai ketua ospek. Suaranya lembut, perilakunya hangat dan tampangnya jangan ditanya lagi, menurutku dia malaikat yang turun dari langit dan hidup di bumi, hehehe. Kami tidak dekat, kami hanya sebatas junior dan senior, tidak lebih. Tapi jika harus jujur, aku sangat ingin dekat dengannya lebih dari sebatas kata junior-senior. Aku hanya bisa berharap beberapa hal tentangnya. Semoga semesta dan waktu memihak kepadaku, setidaknya membuat pertemuan singkat antara aku dengannya atau memberiku kesempatan ada di hidupnya. 
~~
"Ra, kamu jadi ikut daftar senat?" tanya Ira menghampiriku yang sedang asyik melihat-lihat instagram senat kampus yang di dalamnya ada beberapa foto milik seseorang yang sangat kukagumi.

"Jadilah," jawabku antusias dengan pandangan yang tetap fokus menatap layar laptop.

"Gara-gara ada kak Bagas ya?" tebaknya percaya diri. Tentu, Ira pasti selalu tahu, toh dia sahabat dekatku, bahwa apa pun yang aku lakukan selama ini atas dasar kekagumanku kepada Bagas. 

Aku mengangguk membenarkan ucapannya. "Tapi bukan karena kak Bagas juga sih Ra, aku mau tambah pengalaman aja di sana."

Meskipun alasan pertamaku masuk senat ingin lebih dekat dengan Bagas, tetapi alasan selanjutnya aku ingin menambah banyak pengalaman, terlebih lagi masa SMAku tidak  pernah diisi dengan keikutsertaan dalam organisasi apa pun karena alasan tertentu. 

"Oh okey okey. Good luck ya Ra buat nanti wawancaranya."

"Sip, Makasih," 

Hari wawancara pun tiba. Sudah 15 menit yang lalu aku keluar dari kelasku dan langsung menuju ruang senat. Ruangannya masih sepi mungkin anak-anak yang lain masih ada mata kuliah. "Kesempatan nih," pikirku. Suasana tersebut aku manfaatkan untuk melatih nada bicaraku untuk wawancara nanti. 

"Perkenalkan nama saya Kiara, saya mahasiswi jurusan psikologi angkatan 2017. Alasan saya mendaftar menjadi anggota senat karenaaa..." 

"Karena ingin dekat dengan saya.." tiba-tiba suara asing memotong monologku. 

Aku langsung menoleh, "hah?" mataku terbelalalak, tidak menyangka bahwa suara tersebut berasal dari seseorang yang sangat kukagumi. Aku menunduk malu, mungkin wajahku memerah seperti cabai merah. Ya ampuun Kiaraaa.

"Oh jadi nama kamu Kiara?" tanyanya tiba-tiba, senyuman hangatnya pun ikut muncul di hadapanku. 

"Iya kak," kataku pelan. Jantungku berdebar hebat, setelah sekian purnama akhirnya semesta mengabulkan permohonanku untuk mewujudkan pertemuan singkatku dengannya. Rasanya seperti ada banyak bunga-bunga bertaburan di atas kepalaku. Aku sangat bahagia. Aku bisa menatapnya dari dekat tanpa sekat. 

"Kamu anak psikologi?" tanyanya lagi. 

"Iya," aku hanya bisa berkata "iya" karena entah kata apa lagi yang harus aku ucapkan kepadanya. Lidahku benar-benar terasa sangat kelu. Aku benar-benar kehilangan kata-kata. 

"Singkat banget," dia tertawa setelah mendengar jawabanku yang memang singkat dan hanya berbicara ketika ditanya olehnya. 

Aku kembali menunduk. Aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa. Aku senang sekaligus malu. 

"Heeeeyyyy brooo..."teriak seorang lelaki sedang berjalan menghampiri kami berdua. Mungkin temannya atau salah satu anggota senat. 

"Oh jadi ini gebetan lo?" katanya sembari menyenggol bahunya. Aku terdiam mendengar kata "gebetan", tidak mungkin lelaki tersebut menganggapku gebetannya Bagas. 

"Apaan sih lo," Bagas berusaha mengalihkan pembicaraan. 

"Tapi gue yakin sih kalo cewe ini yang pernah lo ceritain tempo hari. Dari ciri-cirinya sih 100 persen akurat," kata lelaki yang berstatus teman Bagas dengan yakin dan setelahnya ia tertawa. 

Aku gak boleh geer, mungkin si kakak ini salah orang, ucapku dalam hati. 

"Udah udah, jangan dibahas, tuh anak-anak udah kumpul. Kita mulai aja wawancaranya," wajah Bagas tampak sedikit memerah setelah temannya berbicara spontan. Entah karena memang aku perempuan yang dibicarakan mereka tempo hari atau karena hal lain, aku tidak tahu. 

Aku menghampiri salah satu temanku yang juga ikut mendaftar anggota senat, dia baru saja datang dengan kebiasaannya membawakanku minuman favotitku, matcha latte. 

"Kenapa baru nyampe?" 

"Nih, seperti biasa," dia memberikan minuman yang selalu ia bawa ketika bertemu denganku. Kami sudah berteman dari pertama kali menjadi mahasiswa baru, aku sudah menganggapnya seperti keluarga. Namun, orang-orang selalu menganggap kami sebagai pasangan, untungnya kami termasuk orang yang tidak terlalu memikirkan ucapan orang lain. Jadi kami tetap baik-baik saja dengan status sebagai sahabat. 

"Makasiiih," aku langsung menyeruputnya, "oh iya Bim, tadi aku ngobrol sama kak Bagas," 

"Seriusan?" tanya Bima antusias.

"Ya ampun setelah sekian purnama, akhirnya semesta mewujudkan keinginanku," kataku puitis yang membuat Bima menunjukkan ekspresi mual, mengejekku. 

"Ah lebay."

"Ih aku seriusan, sesenang itu loh Biiiiim" saking senangnya sampai aku mencubit tangan Bima. 

"Iya iya gue ngerti lo seneng, tapi jangan nyubit juga kali," katanya sinis sambil mengusap-usap tangan yang sudah kucubit merah. 

"Sorryyy..." aku juga ikut mengusap-usap tangannya. "Nanti kamu bantuin aku ya."

"Bantuin apaan?" 

"Ah pokoknya liat aja nanti, yuk ah masuk!" 

Kami pun masuk ke dalam ruang senat. Hari ini aku sangat senang karena ada satu keinginan yang terkabul. Aku tidak pernah menduga, jika dia akan berbicara santai kepadaku. Rasanya sangat membahagiakan ketika bisa dekat dengan seseorang yang dikagumi. Aku tidak khawatir jika ini hanya sementara, karena aku juga tidak tahu sampai kapan perasaan kagum ini akan terus bertahan kepadanya, mungkin saja tiba-tiba berganti peran. Aku hanya berusaha menikmati sebuah perjalanan. Karena aku yakin di dalam setiap perjalanan pasti ada pelajaran. 

Terima kasih semesta untuk hadiahnya


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perempuan; Sebuah Permulaan

[1] Gelap?

[2] Bahagia?